Senin, 06 April 2020

MAKALAH UNDANG – UNDANG PERBANKAN SYARIAH


MAKALAH
UNDANG – UNDANG PERBANKAN SYARIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
 Mata Kuliah
“Perbankan Syariah”
Dosen Pengampu: Eko Susanto,S.E.,M.E



Disusun oleh:
M. Roziqi Abbas

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
 DAN BISNIS ISLAM(STEBIS)
DARUSSALAM
OGAN KOMERING ILIR
TA. 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR  BELAKANG
Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, selanjutnya disingkat UUPS 2008, disambut gembira para pelaku industri perbankan syariah di tanah air dan sebagian masyarakat muslim khususnya. Dengan pengesahan ini, industri perbankan syariah di Indonesia diharapkan dapat berkembang lebih pesat dan memberikan manfaat lebih besar. Kepastian hukum dan jaminan keamanan juga akan lebih nyata bagi para investor dan para pelaku usaha perbankan syariah ini.
Dibandingkan dengan dasar hukum yang ada sebelumnya yang hanya menempel pada kebijakan dan peraturan Bank Indonesia, status perundang undangan bagi perbankan syariah ini jelas lebih kuat.Menurut Algra dan Duyyendijk, perundang-undangan memiliki kelebihan dibanding dengan normanorma lain, yaitu;
1.      tingkat prediksibilitas yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prospektif dari perundang-undangan yaitu yang pengaturannya ditujukan ke masa depan. Oleh karena itu, ia harus memenuhi syarat agar orangorang mengetahui apa atau tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan bukan yang sudah lewat. Dengan demikian peraturan perundang-undangan senantiasa dituntut untuk memberi tahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh anggota masyarakat.
2.      memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh karena itu, orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu bisa diterima atau tidak.
Ini berarti bahwa keberadaan industri perbankan syariah dianggap tidak saja sebagai kebutuhan masyarakat, tetapi juga mempunyai prospek dan potensi besar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sketsa Historis Aspek Politik dan Ekonomi Muslim Indonesia
Pada tahun 1990an, gerakan formalisasi syari’ah bidang ekonomi memulai titik monumentalnya.Diawali dari lokakarya Majlis Ulama Indonesia (MUI), para pemuka agama dan para praktisi lembaga keuangan bersepakat mendirikan perbankan syari’ah.Tahun berikutnya, 1992, terlahir Bank Muamalat Indonesia (BMI).Ini menandai beroperasinya lembaga keuangan yang menggunakan sistem syari’ah. Berdirinya BMI ini, kemudian, diikuti beberapa Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dan puluhan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di pelosok negeri. Melihat perkembangan, pemerintah melalui UU no. 10/1998 membolehkan beroperasinya bank dengan dual bank system.
Tahun berikutnya, 1999 disusul 2000, 2001 dan 2003 penyempurnaan demi penyempurnaan terus dilakukan Bank Indonesia guna memayungi kemapanan legalisasinya. Kemudian beberapa bulan yang lalu, pertengahan Juni 2008, pemerintah mensahkan dan menetapkan undang-undang khusus yang lebih independen dan komprehensif untuk mengatur perbankan syariah melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
B.     Isi dan Ikhtisar UUPS 2008
UUPS 2008 terbagi menjadi VIII bab dan 70 pasal. Bab I berisi tentang ketentuan umum, bab ini mengandung 1 pasal.[1]Bab II tentang asas, tujuan dan fungsi, yang dijelaskan melalui pasal ke 2, 3 dan 4.[2]Bab III memuat perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan, meliputi pasal ke 5 sampaidengan ke 17.[3]Bank Umum Konvensional yang hendak melakukan usaha dengan prinsip syariah wajib membuka Unit Usaha Syari’ah (UUS) di kantor pusat bank dengan izin BI. Lembaga yang telah mendapatkan izin wajib mencantumkan kata “syari’ah” setalah kata “bank” atau nama bank. Usaha melakukan kegiatan perbankan syariah dapat melalui konversi dari bank konvensional menjadi bank syari’ah.Merubah dari bank syariah menjadi konvensional dilarang (pasal 5). Bank syariah atau UUS dapat membuka kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang baik di dalam negeri atau luar negeri melalui izin BI (pasal 6). Bentuk badan hukum bank syariah berupa perseroan terbatas (pasal 7) yang telah diatur dalam perundang-undangan yang ditetapkan BI (pasal 8).Kepemilikan bank syariah hanya oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia (pasal 9).Setiap usaha penggabungan, peleburan dan pengambilalihan bank syariah wajib mendapat izin BI (pasal 17).Bab IV tentang jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, larangan bank syariah dan usaha unit syariah, dijabarkan dalam pasal ke 18 sampai dengan 26.[4]Bab V berisi pemegang saham pengendali, dewan komisaris, DPS, direksi dan tenaga kerja asing, diurai dalam pasal ke 27 sampai dengan 33.[5]Bab VI memuat tata kelola, prinsip kehati-hatian, pengelolaan resiko, mengandung pasal ke 34 sampai dengan 40.[6]Bank syariah juga wajib mengenal nasabah dan melindungi nasabah, termasuk kewajiban menjelaskan kepada nasabah kemungkinan timbulnya resiko kerugian terkait transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank syariah (pasal 34, 35, 39, 40).Terkait resiko pembiayaan dimana nasabah tidak mampu memenuhi kewajibannya, bank syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, atau menerima kuasa dari pemilik agunan untuk dijual (pasal 40).rahasia bank, terjelaskan dalam pasal ke 41 sampai dengan 49.[7]Bank syariah wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya (pasal 41-48).Pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS dilakukan oleh BI (pasal 50), dengan cara mewajibkan bank syaiah dan UUS memelihara tingkat kesehatan bank yang meliputi kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan kualitas manajemen (pasal 51-53). Apabila bank syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, BI dapat melakukan tindakan pengawasan langsung terhadap bank tersebut (pasal 54).penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau di luar Peradilan Agama apabila dalam akad telah diperjanjikan sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah (pasal 55).
Ditetapkannya UU ini menjadi “gong” bagi semua peraturan dan kebijakan terkait pengaturan bank syariah ini.Dengan adanya beberapa pengaturan, kebijakan pemerintah dan beberapa informasi penting di atas dapat menjadi sinyalemen ”kebangkitan” industri perbankan syariah di nusantara. Disahkannya UUPS 2008 pada tanggal 16 Juni, menjadi semakin menguatkan posisi dan eksistensi lembaga ini. Hal ini jelas akan menjadikan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan kegiatan usaha perbankan syariah. Perbankan syariah tidak saja semakin diakui secara legitimasi melainkan diberi keleluasaan untuk berkiprah mengembangkan diri meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


C.    Makna dan Implikasi Disahkannya UUPS 2008
Diundangkannya perbankan syariah yang baru untuk mengganti peraturan (ketentuan) sebelumnya mengisyaratkan beberapa makna dan implikasi.
1.      Makna lahirnya undang-undang
Lahirnya UU Perbankan Syariah yang baru ini, jika dicermati lebih dalam, memuat kandungan yang sarat makna. Pertama, aturan terakhir perbankan syariah yang dituangkan dalam UU Nomor 23 tahun 1999 telah tidak mampu menampung perkembangan yang kegiatan usaha perbankan syariah, sehingga memerlukan ketetapan undang-undang baru yang lebih khusus dan memadai. Ini berarti peran perbankan syariah dalam meningkatkan ekonomi masyarakat telah memberikan kontribusi yang signifikan. Kedua, perbankan syariah yang menjadikan syariah Islam sebagai prinsip operasionalnya memiliki karakteristik khusus yang sama sekali berbeda dengan sistem perbankan yang ada. Karakteristik khusus ini ditandai dengan adanya aneka akad yang ada di dalamnya sehingga memungkinkan terbentuknya variasi produk perbankan syariah.Ketiga, dengan syariah Islam yang menjadi dasar dan prinsip opersionalnya yang khas itu lebih dianggap sebagai alternatif solutif bagi penyelesaian persoalan kesejahteraan masyarakat.Paling tidak, sebagai media untuk mengakses lebih luas partisipasi masyarakat untuk bertransaksi dengan dunia perbankan mengingat kompleksitas masyarakat Indonesia, khususnya dalam dimensi ideologis keagamaan.Dan keempat, dengan adanya aturan tersebut, setidaknya mengindikasikan universalitas syariah Islam.Artinya, aturan syariah yang oleh kebanyakan orang dianggap normatif dan melangit serta tidak kontekstual dengan perkembangan zaman, ternyata tidak selalu demikian. Sebab aturan atau norma syariah dalam konteks perbankan ini telah mengalami proses rasionalisasi sehingga yang terjadi tidak lagi maknamakna absolutisme dari syariah itu sendiri tetapi dimensi relativismenya.Dengan itu pula, perbankan syariah tidak saja dimonopoli oleh kepentingan umat Islam saja tetapi juga non Islam.


2.      Implikasi lahirnya undang-undang
Di sisi lain, UU ini juga memberikan implikasi yang luas bagi semua aspek kehidupan masyarakat, baik dari sisi teoritis-praktis maupun dari sisi personalinstitusional, khususnya dalam lingkup dunia usaha atau ekonomi Islam. Hal ini tentu akan menambah wacana baru keilmuan perbankan syari’ah dan secara umum ekonomi Islam, di samping juga memberikan mekanisme baru bagi penyusunan kebijakan oleh para praktisi lembaga keuangan syariah. Ia juga akan direspon oleh masyarakat secara personal maupun institusional. Para pemerhati, pengamat, peneliti, dan ahli agama secara personal maupun lembaga akan mempersiapkan ”jurus” untuk mencari posisi yang tepat dalam perubahan itu.
Perbankan atau lembaga keuangan syariah lainnya, sesungguhnya, tidak selalu identik dengan keilmuan ekonomi Islam.Ia merupakan bagian kecil dari wacana keilmuan ekonomi Islam. Namun, lembaga keuangan syariah merupakan salah satu wadah dari proses empirisasi (pembumian) wacana ekonomi Islam tersebut.  Menguatnya dimensi lembaga keuangan Islam pada dataran empiris, tentu akan semakin mengukuhkan wacana ekonomi Islam secara umum. Mudahnya berpikir, jika saja nilai-nilai Islam bisa masuk dalam sistem keuangan, maka tentu ia juga bisa masuk dalam sistem bisnis lain, misalkan perburuhan, kehutanan, kelautan, perkontraktoran, perusahaan, dan sebagainya. Dan ini menjadi garapan bagi dunia akademik, baik lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal.
Dalam konteks lembaga perbankan syariah sendiri, perbankan tentu harus mempersiapkan diri secara lebih matang, tidak saja dalam hal infrastruktur, tetapi juga para pegawai/karyawan dan para pimpinannya.Di sisi lain, lembaga juga harus membuka diri untuk menerima sumber daya manusia dari luar yang mengerti tentang hukum dan mekanisme operasional prinsip syariah.Hal ini bisa berupa, dewan pengawas syariah, konsultan hukum syariah, dan tenaga-tenaga lain yangbersifat administratif dan pelayanan.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menelusuri sejarah semangat sebagian masyarakat Islam dalam memformalisasi syariat di tanah air ini, barangkali dapat dikatakan bahwa lahirnya UUPS 2008 ini merupakan buah dari perjuangan tersebut. Undangundang dengan 13 bab dan 70 pasal ini mempunyai makna penting dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia, secara umum isu ekonomi Islam. Adanya perkembangan luar biasa yang menuntut dibuatkannya aturan main sendiri, karakter khusus yang dimilikinya, menawarkan alternatif solutif dalam persoalan ekonomi modern, dan nilai-nilai syariah dalam ekonomi mulai meng-universal.Semua itu merupakan makna dibalik keluarnya regulasi baru perbankan syariah.
Beberapa implikasi juga potensial muncul karena regulasi-regulasi tersebut. Tergalinya keilmuan ekonomi Islam yang lain untuk mengawal sistem perbankan syariah ini, misalnya; akuntansi, perusahaan, industri, perusahaan, biro jasa, atau lainnya yang menggunakan prinsip syariah, dalam menangani aspek pertanian, perkebunan, perburuhan, kelautan, kehutanan, kepariwisataan, dan lain-lain. Secara akademik, lembaga pendidikan tinggi mutlak harus mempersiapkan kompetensi tersebut bagi lulusannya.Dalam dunia praktis, lembaga keuangan konvensional harus mempersiapkan dan menyulap diri dari sisi SDM, di samping juga terbuka menerima SDM dari instansi pendidikan Islam. Dunia usaha juga mempunyai option lebih kompetitif dalam menggandeng mitra penyaluran dana. Lembaga peradilan agama juga, mempersiapkan SDM yang mengerti dalam urusan ekonomi Islam dan hukum-hukum yang menyelimutinya, karena dalam UUPS 2008, penyelesaian sengketa perbankan atau ekonomi syariah memprioritaskan lembaga ini untuk menyelesaikannya.



DAFTAR PUSTAKA
1.      Harnowo, Tri (2004), “Teori Regulasi: Bagaimana Peraturan Perundang-undangan Sebenarnya Terbentuk?”, Jurnal News Letter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, No. 29.
2.      Berita,www.eramuslim.com/berita/nasional/uu-perbankan-syari-039-ah-harusdukung-petani.htm-16k-Accesed 23 Desember 2008.
3.      Adiwarman A Karim (2008), Momentum Emas Perbankan Syariah, http:// www.sebi.ac.id/index.php?option=comcontent &task  = view&id =415&Itemid=33. Accesed 23 Desember 2008.












[1]Berisi tentang definisi, pembagian dan akad-akad yang terkandung dalam sistem perbankan syariah..Ada perubahan penting di sini BPRS yang dulu “P” kepanjangan dari Perkreditan, kini diganti menjadi Pembiayaan.
[2]Disebutkan bahwa tujuan perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional (pasal 2-3). Sedangkan fungsi perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu (1) dalam bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan (2) dalam bentuk lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerima wakaf uang dan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (pasal 4).
[3]Para pihak yang ingin melakukan kegiatan usaha bank syariah wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia (BI).
[4]Bank syariah terdiri atas Bank Umum Syariah atau BUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah atau BPRS dan Unit Usaha Syariah atau UUS (pasal 18).Prinsip syariah memiliki banyak variasi akad yang berpotensi dalam penganeka ragaman produk (pasal 19).Kegiatan penghimpunan, penyaluran dan penyediaan jasa keuangan oleh BUS atau BPRS harus sesuai dengan prinsip syariah dan mendapat izin dari BI (pasal 22).BUS, BPRS dan UUS dilarang melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di lantai bursa serta kegiatan perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi resiko.syariah (pasal 24-25).
[5]Terkait dengan individu-individu dalam bank syariah seperti Pemegang Saham Pengendali (PSP), Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Direksi dan Tenaga Kerja Asing (TKA) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan BI (pasal 27).
[6]Dalam hal tata kelola bank syariah dan UUS wajib memenuhi tata kelola perusahaan yang baik, prinsip hati-hati dan pengelolaan resiko.
[7]Rahasia dalam perbankan syariah juga diatur dalam undang-undang ini.Rahasia ini ditetapkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH “ Permintaan Terhadap Faktor Faktor Produksi

MAKALAH “ Permintaan Terhadap Faktor Faktor Produksi ”                                                 Dosen Pengampu : Eko Susanto,...