MAKALAH
UNDANG – UNDANG PERBANKAN SYARIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah
“Perbankan Syariah”
Dosen Pengampu: Eko Susanto,S.E.,M.E
Disusun
oleh:
M.
Roziqi Abbas
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
DAN BISNIS ISLAM(STEBIS)
DARUSSALAM
OGAN KOMERING ILIR
TA. 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, selanjutnya disingkat UUPS 2008, disambut gembira
para pelaku industri perbankan syariah di tanah air dan sebagian masyarakat
muslim khususnya. Dengan pengesahan ini, industri perbankan syariah di
Indonesia diharapkan dapat berkembang lebih pesat dan memberikan manfaat lebih
besar. Kepastian hukum dan jaminan keamanan juga akan lebih nyata bagi para
investor dan para pelaku usaha perbankan syariah ini.
Dibandingkan
dengan dasar hukum yang ada sebelumnya yang hanya menempel pada kebijakan dan
peraturan Bank Indonesia, status perundang undangan bagi perbankan syariah ini
jelas lebih kuat.Menurut Algra dan Duyyendijk, perundang-undangan memiliki
kelebihan dibanding dengan normanorma lain, yaitu;
1. tingkat
prediksibilitas yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prospektif dari
perundang-undangan yaitu yang pengaturannya ditujukan ke masa depan. Oleh
karena itu, ia harus memenuhi syarat agar orangorang mengetahui apa atau
tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan
bukan yang sudah lewat. Dengan demikian peraturan perundang-undangan senantiasa
dituntut untuk memberi tahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang
diharapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh anggota masyarakat.
2. memberikan
kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat,
maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan
tersebut. Oleh karena itu, orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai
itu bisa diterima atau tidak.
Ini berarti bahwa keberadaan industri perbankan
syariah dianggap tidak saja sebagai kebutuhan masyarakat, tetapi juga mempunyai
prospek dan potensi besar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sketsa
Historis Aspek Politik dan Ekonomi Muslim Indonesia
Pada tahun 1990an, gerakan formalisasi syari’ah
bidang ekonomi memulai titik monumentalnya.Diawali dari lokakarya Majlis Ulama
Indonesia (MUI), para pemuka agama dan para praktisi lembaga keuangan
bersepakat mendirikan perbankan syari’ah.Tahun berikutnya, 1992, terlahir Bank
Muamalat Indonesia (BMI).Ini menandai beroperasinya lembaga keuangan yang
menggunakan sistem syari’ah. Berdirinya BMI ini, kemudian, diikuti beberapa
Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dan puluhan Baitul Mal wa Tamwil (BMT)
di pelosok negeri. Melihat perkembangan, pemerintah melalui UU no. 10/1998
membolehkan beroperasinya bank dengan dual bank system.
Tahun berikutnya, 1999 disusul 2000, 2001 dan 2003
penyempurnaan demi penyempurnaan terus dilakukan Bank Indonesia guna memayungi
kemapanan legalisasinya. Kemudian beberapa bulan yang lalu, pertengahan Juni
2008, pemerintah mensahkan dan menetapkan undang-undang khusus yang lebih
independen dan komprehensif untuk mengatur perbankan syariah melalui
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
B.
Isi
dan Ikhtisar UUPS 2008
UUPS
2008 terbagi menjadi VIII bab dan 70 pasal. Bab I berisi tentang ketentuan
umum, bab ini mengandung 1 pasal.[1]Bab
II tentang asas, tujuan dan fungsi, yang dijelaskan melalui pasal ke 2, 3 dan
4.[2]Bab
III memuat perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan,
meliputi pasal ke 5 sampaidengan ke 17.[3]Bank
Umum Konvensional yang hendak melakukan usaha dengan prinsip syariah wajib
membuka Unit Usaha Syari’ah (UUS) di kantor pusat bank dengan izin BI. Lembaga
yang telah mendapatkan izin wajib mencantumkan kata “syari’ah” setalah kata
“bank” atau nama bank. Usaha melakukan kegiatan perbankan syariah dapat melalui
konversi dari bank konvensional menjadi bank syari’ah.Merubah dari bank syariah
menjadi konvensional dilarang (pasal 5). Bank syariah atau UUS dapat membuka
kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang baik di dalam negeri atau luar
negeri melalui izin BI (pasal 6). Bentuk badan hukum bank syariah berupa
perseroan terbatas (pasal 7) yang telah diatur dalam perundang-undangan yang
ditetapkan BI (pasal 8).Kepemilikan bank syariah hanya oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia (pasal 9).Setiap usaha penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan bank syariah wajib mendapat izin BI (pasal
17).Bab IV tentang jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana,
larangan bank syariah dan usaha unit syariah, dijabarkan dalam pasal ke 18
sampai dengan 26.[4]Bab
V berisi pemegang saham pengendali, dewan komisaris, DPS, direksi dan tenaga
kerja asing, diurai dalam pasal ke 27 sampai dengan 33.[5]Bab
VI memuat tata kelola, prinsip kehati-hatian, pengelolaan resiko, mengandung
pasal ke 34 sampai dengan 40.[6]Bank
syariah juga wajib mengenal nasabah dan melindungi nasabah, termasuk kewajiban
menjelaskan kepada nasabah kemungkinan timbulnya resiko kerugian terkait
transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank syariah (pasal 34, 35, 39,
40).Terkait resiko pembiayaan dimana nasabah tidak mampu memenuhi kewajibannya,
bank syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, atau menerima
kuasa dari pemilik agunan untuk dijual (pasal 40).rahasia bank, terjelaskan
dalam pasal ke 41 sampai dengan 49.[7]Bank
syariah wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya serta nasabah investor dan investasinya (pasal 41-48).Pembinaan dan
pengawasan bank syariah dan UUS dilakukan oleh BI (pasal
50), dengan cara mewajibkan bank syaiah dan UUS memelihara tingkat kesehatan
bank yang meliputi kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, dan kualitas manajemen (pasal 51-53). Apabila bank syariah
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, BI dapat melakukan
tindakan pengawasan langsung terhadap bank tersebut (pasal 54).penyelesaian
sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama atau di luar Peradilan Agama apabila dalam akad telah diperjanjikan
sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah (pasal 55).
Ditetapkannya UU ini menjadi “gong” bagi semua peraturan
dan kebijakan terkait pengaturan bank syariah ini.Dengan adanya beberapa
pengaturan, kebijakan pemerintah dan beberapa informasi penting di atas dapat
menjadi sinyalemen ”kebangkitan” industri perbankan syariah di nusantara.
Disahkannya UUPS 2008 pada tanggal 16 Juni, menjadi semakin menguatkan posisi
dan eksistensi lembaga ini. Hal ini jelas akan menjadikan dasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan kegiatan usaha perbankan syariah. Perbankan
syariah tidak saja semakin diakui secara legitimasi melainkan diberi
keleluasaan untuk berkiprah mengembangkan diri meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
C.
Makna
dan Implikasi Disahkannya UUPS 2008
Diundangkannya perbankan syariah yang baru untuk
mengganti peraturan (ketentuan) sebelumnya mengisyaratkan beberapa makna dan
implikasi.
1. Makna
lahirnya undang-undang
Lahirnya UU Perbankan Syariah yang baru ini, jika
dicermati lebih dalam, memuat kandungan yang sarat makna. Pertama, aturan
terakhir perbankan syariah yang dituangkan dalam UU Nomor 23 tahun 1999 telah
tidak mampu menampung perkembangan yang kegiatan usaha perbankan syariah,
sehingga memerlukan ketetapan undang-undang baru yang lebih khusus dan memadai.
Ini berarti peran perbankan syariah dalam meningkatkan ekonomi masyarakat telah
memberikan kontribusi yang signifikan. Kedua, perbankan syariah yang menjadikan
syariah Islam sebagai prinsip operasionalnya memiliki karakteristik khusus yang
sama sekali berbeda dengan sistem perbankan yang ada. Karakteristik khusus ini
ditandai dengan adanya aneka akad yang ada di dalamnya sehingga memungkinkan
terbentuknya variasi produk perbankan syariah.Ketiga, dengan syariah Islam yang
menjadi dasar dan prinsip opersionalnya yang khas itu lebih dianggap sebagai
alternatif solutif bagi penyelesaian persoalan kesejahteraan masyarakat.Paling
tidak, sebagai media untuk mengakses lebih luas partisipasi masyarakat untuk
bertransaksi dengan dunia perbankan mengingat kompleksitas masyarakat
Indonesia, khususnya dalam dimensi ideologis keagamaan.Dan keempat, dengan
adanya aturan tersebut, setidaknya mengindikasikan universalitas syariah
Islam.Artinya, aturan syariah yang oleh kebanyakan orang dianggap normatif dan
melangit serta tidak kontekstual dengan perkembangan zaman, ternyata tidak
selalu demikian. Sebab aturan atau norma syariah dalam konteks perbankan ini
telah mengalami proses rasionalisasi sehingga yang terjadi tidak lagi
maknamakna absolutisme dari syariah itu sendiri tetapi dimensi relativismenya.Dengan
itu pula, perbankan syariah tidak saja dimonopoli oleh kepentingan umat Islam
saja tetapi juga non Islam.
2. Implikasi
lahirnya undang-undang
Di sisi lain, UU ini juga
memberikan implikasi yang luas bagi semua aspek kehidupan masyarakat, baik dari
sisi teoritis-praktis maupun dari sisi personalinstitusional, khususnya dalam
lingkup dunia usaha atau ekonomi Islam. Hal ini tentu akan menambah wacana baru
keilmuan perbankan syari’ah dan secara umum ekonomi Islam, di samping juga
memberikan mekanisme baru bagi penyusunan kebijakan oleh para praktisi lembaga
keuangan syariah. Ia juga akan direspon oleh masyarakat secara personal maupun
institusional. Para pemerhati, pengamat, peneliti, dan ahli agama secara
personal maupun lembaga akan mempersiapkan ”jurus” untuk mencari posisi yang
tepat dalam perubahan itu.
Perbankan atau lembaga keuangan syariah lainnya,
sesungguhnya, tidak selalu identik dengan keilmuan ekonomi Islam.Ia merupakan
bagian kecil dari wacana keilmuan ekonomi Islam. Namun, lembaga keuangan
syariah merupakan salah satu wadah dari proses empirisasi (pembumian) wacana
ekonomi Islam tersebut. Menguatnya
dimensi lembaga keuangan Islam pada dataran empiris, tentu akan semakin
mengukuhkan wacana ekonomi Islam secara umum. Mudahnya berpikir, jika saja
nilai-nilai Islam bisa masuk dalam sistem keuangan, maka tentu ia juga bisa masuk
dalam sistem bisnis lain, misalkan perburuhan, kehutanan, kelautan,
perkontraktoran, perusahaan, dan sebagainya. Dan ini menjadi garapan bagi dunia
akademik, baik lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal.
Dalam konteks lembaga perbankan syariah sendiri,
perbankan tentu harus mempersiapkan diri secara lebih matang, tidak saja dalam
hal infrastruktur, tetapi juga para pegawai/karyawan dan para pimpinannya.Di
sisi lain, lembaga juga harus membuka diri untuk menerima sumber daya manusia
dari luar yang mengerti tentang hukum dan mekanisme operasional prinsip
syariah.Hal ini bisa berupa, dewan pengawas syariah, konsultan hukum syariah,
dan tenaga-tenaga lain yangbersifat administratif dan pelayanan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menelusuri sejarah semangat sebagian masyarakat
Islam dalam memformalisasi syariat di tanah air ini, barangkali dapat dikatakan
bahwa lahirnya UUPS 2008 ini merupakan buah dari perjuangan tersebut.
Undangundang dengan 13 bab dan 70 pasal ini mempunyai makna penting dalam perkembangan
perbankan syariah di Indonesia, secara umum isu ekonomi Islam. Adanya
perkembangan luar biasa yang menuntut dibuatkannya aturan main sendiri,
karakter khusus yang dimilikinya, menawarkan alternatif solutif dalam persoalan
ekonomi modern, dan nilai-nilai syariah dalam ekonomi mulai
meng-universal.Semua itu merupakan makna dibalik keluarnya regulasi baru
perbankan syariah.
Beberapa implikasi juga potensial muncul karena
regulasi-regulasi tersebut. Tergalinya keilmuan ekonomi Islam yang lain untuk
mengawal sistem perbankan syariah ini, misalnya; akuntansi, perusahaan,
industri, perusahaan, biro jasa, atau lainnya yang menggunakan prinsip syariah,
dalam menangani aspek pertanian, perkebunan, perburuhan, kelautan, kehutanan,
kepariwisataan, dan lain-lain. Secara akademik, lembaga pendidikan tinggi
mutlak harus mempersiapkan kompetensi tersebut bagi lulusannya.Dalam dunia
praktis, lembaga keuangan konvensional harus mempersiapkan dan menyulap diri
dari sisi SDM, di samping juga terbuka menerima SDM dari instansi pendidikan
Islam. Dunia usaha juga mempunyai option lebih kompetitif dalam menggandeng
mitra penyaluran dana. Lembaga peradilan agama juga, mempersiapkan SDM yang
mengerti dalam urusan ekonomi Islam dan hukum-hukum yang menyelimutinya, karena
dalam UUPS 2008, penyelesaian sengketa perbankan atau ekonomi syariah
memprioritaskan lembaga ini untuk menyelesaikannya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Harnowo,
Tri (2004), “Teori Regulasi: Bagaimana Peraturan Perundang-undangan Sebenarnya
Terbentuk?”, Jurnal News Letter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, Jakarta:
Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, No. 29.
2. Berita,www.eramuslim.com/berita/nasional/uu-perbankan-syari-039-ah-harusdukung-petani.htm-16k-Accesed
23 Desember 2008.
3. Adiwarman
A Karim (2008), Momentum Emas Perbankan Syariah, http://
www.sebi.ac.id/index.php?option=comcontent &task = view&id =415&Itemid=33. Accesed 23
Desember 2008.
[1]Berisi tentang
definisi, pembagian dan akad-akad yang terkandung dalam sistem perbankan
syariah..Ada perubahan penting di sini BPRS yang dulu “P” kepanjangan dari
Perkreditan, kini diganti menjadi Pembiayaan.
[2]Disebutkan bahwa
tujuan perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
(pasal 2-3). Sedangkan fungsi perbankan syariah, selain melakukan fungsi
penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu
(1) dalam bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah,
hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan (2) dalam
bentuk lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerima wakaf uang
dan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (pasal 4).
[3]Para pihak yang ingin
melakukan kegiatan usaha bank syariah wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia
(BI).
[4]Bank syariah terdiri
atas Bank Umum Syariah atau BUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah atau BPRS
dan Unit Usaha Syariah atau UUS (pasal 18).Prinsip syariah memiliki banyak
variasi akad yang berpotensi dalam penganeka ragaman produk (pasal 19).Kegiatan
penghimpunan, penyaluran dan penyediaan jasa keuangan oleh BUS atau BPRS harus
sesuai dengan prinsip syariah dan mendapat izin dari BI (pasal 22).BUS, BPRS
dan UUS dilarang melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di lantai
bursa serta kegiatan perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk
asuransi resiko.syariah (pasal 24-25).
[5]Terkait dengan
individu-individu dalam bank syariah seperti Pemegang Saham Pengendali (PSP), Dewan
Komisaris, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Direksi dan Tenaga Kerja Asing (TKA)
wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan BI (pasal 27).
[6]Dalam hal tata kelola
bank syariah dan UUS wajib memenuhi tata kelola perusahaan yang baik, prinsip
hati-hati dan pengelolaan resiko.
[7]Rahasia dalam
perbankan syariah juga diatur dalam undang-undang ini.Rahasia ini ditetapkan
untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar